PENDAHULUAN
Perkembangan zaman yang bersifat
global dalam segala bidang keilmuan tentu berpengaruh terhadap pola pikir dan
perilaku. Akibatnya, dampak secara global diperlukan langkah-langkah
taktis-strategis melalui penguatan karakter, serta nilai-nilai sosial budaya
yang relevan dan diperlukan untuk memajukan bangsa. Harus diakui bahwa lemahnya
penanaman nilai-nilai kejujuran peserta didik bersumber dari rendahnya kualitas
pendidikan karakter yang diberikan.
Pendidikan yang kurang
berkualitas tidak lagi mampu menawarkan program dan situasi yang berdampak
jangka panjang bagi tumbuhnya karakter seseorang. Ibid (dalam Zubaedi,
2017:377), Karakter adalah gabungan dari kebiasaankebiasaan yang dilakukan
terus-menerus dengan mengakar kuat dalam kepribadian seseorang. Kemampuan
menghayati kewajiban sebagai sebuah keniscayaan tidaklah lahir dengan
sendirinya, tetapi tumbuh melalui suatu proses, usaha menumbuhkembangkan dapat
ditempuh melalui pendidikan karakter dengan pembiasaan dan penciptaaan
komunitas moral di kelas.
Pembentukan budaya dan karakter
di sekolah bukan hanya dibebankan pada mata pelajaran terpisah yang menggunakan
pendekatan akademik dan teoritik, tetapi hasil belajar dari pendidikan karakter
tidak sekedar pengetahuan hafalan yang diuji dan dinilai dengan skor nilai,
namun hasil belajar berisi kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
dalam dimensi karakter yang diuji dengan proses penilaian dan produk, sehingga
pembentukan karakter menjadi sikap yang menjadi bagian jiwanya kemudian
menjelma dalam perilaku. Karena perbuatan dan perilaku adalah manifestasi
konkret terhadap nilai perbuatan dari pendidikan karakter itu sendiri yang
dapat diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas moral di kelas. Tidak dapat
dipungkiri bahwa degradasi moral semakin hari semakin dalam kondisi
memprihatikan, tingginya tingkat kekerasan dalam lingkungan sekolah, tingkat
bullying serta perilakuperilaku siswa yang kian menyimpang dari norma-norma
serta banyaknya kasus-kasus yang terjadi di sekolah.
Disamping itu, dengan
perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang begitu pesat dan sulit
dibendung, akan sangat berpengaruh
Menurut John Dewey, (dalam
Zubeadi, 2017), Pendidikan dikatakan gagal, jika tidak menganggap sekolah
sebagai salah satu bentuk kehidupan masyarakat. Penerapan pendidikan karakter
melalui pembiasan dan komunitas moral di kelas dapat menurunkan perilaku saling
mengejek dan juga menurunkan tingkat perselisihan antar pelajar. Sebagian besar
masalah perilaku disebabkan oleh peserta didik tidak mengerti mengapa hal-hal
tertentu harus dilakukan dan yang lain tidak dilakukan. Sehingga guru harus
menyadari bahwa intensif seperti reward dan hadiah lainnya hanyalah bersifat
sementara sebagai perangsang agar mereka bersikap benar. Akan tetapi, jika
keinginan untuk hadiah atau reward tetap mendominasi sebagai motif, ini justru
akan menjadi penghalang dari pada membantu kesikap karakter yang benar. Untuk
itu, agar bisa berhasil dalam mengajarkan sikap hormat dan bertanggung jawab,
seorang pendidik harus menjadikan upaya pembentukan komunitas moral kelas
sebagai tujuan pendidikan utama.
Oleh karena itu, penanaman
nilainilai karakter perlu diterapkan pada diri masing-masing peserta didik
melalui pembiasaan dan penciptaan komunitas moral di kelas. Dengan menjadikan
pembiasaan dan komunitas moral di kelas sebagai upaya menanamkan nilai-nlai
pendidikan karakter, peserta didik akan belajar tentang moralitas dengan cara
mempraktikkannya melalui pembiasaan. Oleh karena itu, mereka harus berada dalam
sebuah komunitas-interaksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah,
berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar langsung dari pengalaman sosial
yang mereka rasakan sendiri. melalui
ANALISIS
Pendidikan karakter adalah suatu
payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi
perkembangan personal. Beberapa area dibawah payung ini meliputi penalaran
moral atau pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan
kebajikan moral, dan pendidikan keterampilan hidup yang dimulai dari
pembelajaran di kelas. Terbentuknya iklim sekolah yang baik guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan program pendidikan karakter diawali dengan pembentukan
suasana kelas yang baik terlebih dahulu. Pendidikan karakter adalah upaya yang
dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik.
Sudrajat (dalam Zubaedi,
2017:375), mengemukakan bahwa ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk
mengoptimalkan pendidikan karakter dalam menumbuhkan nilai-nilai moral di
lingkungan akademik yaitu meliputi; pengajaran (teaching), keteladanan
(modeling), penguatan (reinforcing), dan pembiasaan (habituating). Dalam buku
yang berjudul The Habits of Highly Effective Teens, Stephen R. Covery
mengungkapkan, bahwa ada tujuh kebiasaan yang dapat diterapkan dalam mendidik
karakter anak didik, yaitu bersikap proaktif, memulai dengan tujuan akhir,
mendahulukan yang utama, berpikir menang, berusaha memahami terlebih dahulu
baru dipahami, mewujudkan sinergitas, dan prinsip pembaruan yang seimbang.
Menurut David Brooks dan Mark
Kann (dalam Zubaedi,2017:373) membuat daftar sebelas elemen yang sangat penting
untuk pendidikan karakter yang diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas
moral di kelas, yaitu; harus ada instruksi langsung dalam pendidikan watak,
untuk anak-anak harus terbiasa dengan kebajikan, mereka harus mendengar dan
melihat kata-kata, belajar maknanya, mengidentifikasi perilaku yang tepat dan
menerapkannya. Penggunaan bahasa yang baik sangat penting bagi anak-anak,
mereka harus didorong untuk menggunakan bahasa kebajikan dan guru harus
menghindari bahasa negatif seperti “jangan terlambat” atau “jangan lupa” dan
mengganti dengan “tepat waktu” atau “bersiaplah”.
Hasil studi Lewis dan Schaos
(1996) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang
positif, karena; harapan dan kemampuan akademik siswa meningkat, motivasi siswa
untuk belajar menjadi lebih besar, siswa lebih menyenangi sekolah, tingkat
absensi siswa lebih rendah, kemampuan sosial siswa menjadi lebih baik, masalah
kenakalan siswa jauh berkurang, dan siswa mempunyai sikap yang lebih terbuka.
Hal ini dapat terwujud apabila seluruh masyarakat sekolah menumbuhkan budaya
bahasa, dan iklim berkelakuan baik.
Pembiasaan Peserta Didik di Kelas
Kegiatan pembiasaan pada dasarnya
merupakan implementasi nyata semua mata pelajaran karena pembiasaan merupakan
terapan atas pemahaman, keterampilan, serta sikap dan nilai yang dibangun pada
semua mata pelajaran. Menurut Abdullah Nasih Ulwan (dalam Zubaedi, 2017:377),
metode pembiasaan adalah cara atau upaya yang praktis dalam pembentukan
(pembinaan) dan persiapan anak. Sedangkan menurut Ramayulis, metode pembiasaan
adalah cara untuk menciptakan suatu kebiasaan atau tingkah laku tertentu bagi
anak didik. Arthur, (2003:38), Pembiasaan adalah pengalaman berulang-ulang
dan/atau tindakan dari jenis yang sama yang menimbulkan kebiasaan pada setiap
orang.
Hasil penelitian Supiana dan
Rahmat Sugiharto (2017), menunjukkan bahwa metode pembiasaan sangat efektif
untuk menguatkan hafalan-hafalan pada anak didik, dan untuk penanaman sikap
beragama dengan cara menghapal doa-doa. Menanamkan kebiasaan yang baik memang
tidak mudah, dan kadang-kadang memakan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Maka kebiasaan mempunyai
peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain itu pembiasaan hendaknya
disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian secara
terus-menerus, sebab pembiasaan digunakan bukan untuk memaksa peserta didik
agar melakukan sesuatu secara otomatis, melainkan agar anak dapat melaksanakan
segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa berat atau susah hati.
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Supraptiningrum dan Agustini (2015) menjelaskan bahwa,
untuk menanamkan karakter pada siswa dilakukan dengan pembiasaan melalui
berbagai kegiatan, yaitu: (1) kegiatan rutin yang dilakukan siswa secara
terus-menerus dan konsisten setiap saat; (2) kegiatan spontan yang dilakukan
siswa secara spontan pada saat itu juga; (3) keteladanan merupakan perilaku dan
sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan contoh melalui
tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi siswa
lain; (4) pengondisian dengan cara penciptaan kondisi yang mendukung
keterlaksanaan pendidikan karakter.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nur Hidayat (2016), inti dari pembiasaan dalam pendidikan adalah
pengulangan. Misalnya, pendidik senantiasa mengingatkan peserta didik dalam hal
berpakaian. Penyampaian seperti ini apabila didengar dan dipahami, maka dengan
sendirinya peserta didik dapat membiasakan diri berpakaian sesuai tuntutan
agama. Penerapan pembiasaan pendidikan karakter di kelas di mulai dari hal-hal
yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti.
Kemendiknas (dalam Ernawati,
2017), berpendapat bahwa pengembangan
Gerakan penumbuhan budi pekerti
di sekolah dirasakan akan lebih mengena jika dilakukan dengan serangkaian
kegiatan pembiasaan. Pertama, menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan
spiritual lewat pengamalan nilai-nilai moral dalam perilaku nyata sehari-hari.
Nilai moral diajarkan kepada siswa, lalu guru dan siswa mempraktikkan secara
rutin menjadi kebiasaan dan akhirnya bisa membudaya. Kedua, menumbuhkembangkan
nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Ketiga, mengembangkan interaksi positif
antara peserta didik, guru, dan orangtua. Keempat, mengembangkan interaksi
positif antarpeserta didik. Kelima, merawat diri dan lingkungan sekolah.
Keenam, mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh. Ketujuh,
pelibatan orang tua dan masyarkat sekolah.
Menciptakan Komunitas Moral di Kelas
Menurut Haricahyono, (1988:9),
Pendidikan moral adalah suatu kegiatan membantu anak untuk menuju kearah yang
sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal
terhadapnya. Sehingga dibutuhkan suatu pembiasaan kepada anak untuk mengenali
Menurut Cronbach (dalam Rokhman,
Hum, Syaifudin, & Yuliati, 2014), Karakter adalah bukanlah sebuah entitas
yang terpisah antara kebiasaan dan ide-ide. Karakter aspek perilaku,
kepercayaan, perasaan, dan tindakan yang saling terkait satu sama lain sehingga
jika seseorang ingin mengubah karakter tertentu, mereka perlu untuk mengatur
unsur-unsur dasar karakter mereka.
Berbeda dari Cronbach, Lickona
(dalam Rokhman et al., 2014) melihat karakter dalam tiga elemen yang terkait;
pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Berdasarkan ketiga unsur
tersebut seseorang dianggap memiliki karakter yang baik jika mereka tahu
tentang hal-hal yang baik (pengetahuan moral), memiliki minat terhadap hal-hal
baik (perasaan moral) dan melakukan tindakan yang baik (tindakan moral).
Althof & Berkowitz (dalam
MeiJu, Chen-Hsin, & Pin-Chen, 2014) mengusulkan bahwa pendekatan baru
bermaksud untuk memasukkan pikiran dan perasaan anak-anak seperti yang
disarankan dalam tindakan mereka mengungkapkan, belajar, dan menghargai.
Mencius (dalam Nucci et al.,
2014, hal. 34) menganggap bahwa, moralitas sebagai yang menentukan
karakteristik manusia. Menurut Mencius, satu tidak bisa dianggap manusia tanpa
empat
Mencius menganjurkan menjadi
bertekad untuk tidak mengubah pikiran karena kepentingan pribadi melainkan
untuk menunjukkan tekad dan keberanian dalam hidup. Akhirnya, orang dapat
menjadi orang terhormat yang tanpa mengorbankan adat-istiadat sendiri untuk
janji-janji kekayaan dan ketenaran, atau diredakan oleh kekuatan dalam situasi
di mana orang diminta untuk melakukan sesuatu tidak bermoral. Singkatnya,
jantung Konfusianisme adalah gagasan ren, atau mencintai orang lain.
Konfusianisme terutama prihatin dengan moralitas dalam hubungan interpersonal
dan perilaku, dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mencakup berbagai macam
hubungan dan perilaku — ren (mencintai orang lain), li (kesopanan), xiao
(kesetiaan), ti (cinta dan hormat antara saudara), zhong (kesetiaan), shu
(toleransi), yi (kebenaran), zhi (kebijaksanaan), dan xin (integritas). Tujuan
dari pendidikan moral dalam Konfusianisme adalah mengolah diri ke seseorang
yang ren-sopan, berani, tanpa pamrih, dan penuh kasih terhadap orang lain.
Goleman (dalam Pane &
Patriana, 2016) menyatakan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan
langkah penciptaan komunitas moral di kelas, dimana pendidikan karakter adalah
nilainilai pendidikan yang mencakup aspek pengetahuan (kognitif), perasaan, dan
tindakan. Lickona (dalam Pane & Patriana, 2016) menyatakan bahwa dalam
setiap karakter menghasilkan nilai pendidikan, dimana terdiri dari tiga
komponen dari karakter yang baik,: pengetahuan moral, perasaan moral dan
tindakan moral.
Menurut Jhon Dewey (dalam
Zubaedi, 2017:395) pelatihan moral yang paling baik dan mendalam dapat
dilakukan
Menurut Lickona (dalam Zubaedi,
2017:394), langkah penciptaan komunitas moral di kelas terdiri dari tiga
kegiatan. Pertama. Membantu para siswa untuk saling mengenal satu sama lain
dengan aktivitas; Berpasangan; Direktori kelas; Kantung harta karun; Sahabat
pena dengan kelas lain; Undian tempat duduk; Perasaan nyaman atau tak nyaman;
Jaket pelindung (untuk saling berbagi aspirasi, pencapaian, dan lain-lain).
Kedua, mengajari siswa untuk bersikap saling menghormati, mendukung, dan peduli
dengan sesama melalui kegiatan; Membangun empati; Menghentikan kekejaman
terhadap anak yang berbeda; Menyelenggarakan kegiatan yang bertajuk apresiasi;
Pohon perbuatan baik; Kekuatan kata-kata positif, dan Pelukan menentramkan.
Ketiga, membantu siswa membangun perasaan korp sebagai anggota dan rasa
tanggung jawab kepada kelompok melalui kegiatan; Membangun kohesi dan identitas
kelas melalui macam tradisi dan simbolis; Menumbukan perasaan sebagai sosok
yang unik, anggota yang
KESIMPULAN
Karakter adalah gabungan dari
kebiasaan-kebiasaan yang terus menerus dilakukan dan mengakar kuat dalam
kepribadian seseorang. Menanamkan nilainilai karakter pada peserta didik
dilakukan dengan pembiasaan-pembiasaan melalui berbagai kegiatan di kelas yang
dilakukan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat, sehingga peserta
didik akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dan benar yang tertanam dalam
diri masing-masing peserta didik, tanpa ada reward ataupun hadiah untuk
melakukan hal tersebut. Bentuk pembiasaan yang dilakukan seperti inilah dapat
menumbuhkan nilai-nilai moral pada setiap peserta didik. Hal ini tentu berawal
dari kegiatan-kegiatan yang sederhana yang melibatkan aktivitas keseharian
peserta didik yang dimulai dari lingkungan kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati. 2017. Menumbuhkan Nilai Pendidikan Karakter Anak SD melalui
Dongeng (Fabel) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Dasar. Vol.4, No. 1
Hidayat Nur. 2016. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui
Pembiasaan di Pondok Pesantren Pabelan. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol.
2. No. 1
Mei-Ju, C., Chen-Hsin, Y., & Pin-Chen, H. (2014). The Beauty of
Character Education on Preschool Children’s Parent-child Relationship. Procedia
- Social and Behavioral Sciences, 143, 527–533.
Milanovira, “Tujuh Kebiasaan yang Baik Menurut Stephen R. Covey”,
artikel dalam Milamashuri.wrodpress.com Dipublikasikan 20/08/2010,
http://milamashuri.wordpress.com/ 2010/08/20tujuh kebiasaan-
yangbaik-menurut-stepehen-r-covey/
Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2014). Handbook of
Moral and Character Education. Handbook of Moral and Character Education Second
(2nd ed., Vol. 2). New York: Routledge.
Pane, M. M., & Patriana, R. (2016). The Significance of Environmental
Contents in Character Education for Quality of Life. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 222, 244– 252.
Rokhman, F., Hum, M., Syaifudin, A., & Yuliati. (2014). Character
Education for Golden Generation 2045 (National Character Building for
Indonesian Golden Years). Procedia - Social and Behavioral Sciences, 141,
1161–1165.
Saptono .2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karkter (wawasan,
strategis, dan langkah praktis). Erlangga.
Silanoi, L. (2012). The Development of Teaching Pattern for Promoting
the Building up of Character Education Based on Sufficiency Economy Philosophy
in Thailand. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69 (Iceepsy),
1812–1816.
Supiana, Sugiharto Rahmat. 2017. Pembentukan Nilai-nilai Karakter
Islami Siswa Melalui Metode Pembiasaan. Jurnal Education Vol.01, No.01
Noddings, N. (2002). Educating Moral People; A Caring Alternative to
Character Education. New York: Teachers College Press.
Supraptiningrat, Agustini. Membangun Karakter Siswa Melalui Budaya
Sekolah di Sekolah Dasar. 2015. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 2
Zubaedi. 2017. Strategi Taktis Pendidikan Karakter (untuk PAUD dan
Sekolah). Depok: PT Raja Grafindo Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar