Menurut John Dewey, (dalam
Zubeadi, 2017), Pendidikan dikatakan gagal, jika tidak menganggap sekolah
sebagai salah satu bentuk kehidupan masyarakat. Penerapan pendidikan karakter
melalui pembiasan dan komunitas moral di kelas dapat menurunkan perilaku saling
mengejek dan juga menurunkan tingkat perselisihan antar pelajar. Sebagian besar
masalah perilaku disebabkan oleh peserta didik tidak mengerti mengapa hal-hal
tertentu harus dilakukan dan yang lain tidak dilakukan. Sehingga guru harus
menyadari bahwa intensif seperti reward dan hadiah lainnya hanyalah bersifat
sementara sebagai perangsang agar mereka bersikap benar. Akan tetapi, jika
keinginan untuk hadiah atau reward tetap mendominasi sebagai motif, ini justru
akan menjadi penghalang dari pada membantu kesikap karakter yang benar. Untuk
itu, agar bisa berhasil dalam mengajarkan sikap hormat dan bertanggung jawab,
seorang pendidik harus menjadikan upaya pembentukan komunitas moral kelas
sebagai tujuan pendidikan utama.
Oleh karena itu, penanaman
nilainilai karakter perlu diterapkan pada diri masing-masing peserta didik
melalui pembiasaan dan penciptaan komunitas moral di kelas. Dengan menjadikan
pembiasaan dan komunitas moral di kelas sebagai upaya menanamkan nilai-nlai
pendidikan karakter, peserta didik akan belajar tentang moralitas dengan cara
mempraktikkannya melalui pembiasaan. Oleh karena itu, mereka harus berada dalam
sebuah komunitas-interaksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah,
berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar langsung dari pengalaman sosial
yang mereka rasakan sendiri. melalui pembiasaan secara rutin,
simultan, dan berkesinambungan akan efektif daripada pola teoritis doktrinal.
Hal ini mengingat melalui kegiatan pembiasaan akan menjadikan peserta didik
mengalami proses imitasi, identifikasi, sugesti, dan simpati terhadap perilaku
bermuatan nilai-nilai karakter. Sikap dan perilaku yang bermoral pada anak akan
berkembang sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut
menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari.
ANALISIS
Pendidikan karakter adalah suatu
payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi
perkembangan personal. Beberapa area dibawah payung ini meliputi penalaran
moral atau pengembangan kognitif, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan
kebajikan moral, dan pendidikan keterampilan hidup yang dimulai dari
pembelajaran di kelas. Terbentuknya iklim sekolah yang baik guna mendukung
keberhasilan pelaksanaan program pendidikan karakter diawali dengan pembentukan
suasana kelas yang baik terlebih dahulu. Pendidikan karakter adalah upaya yang
dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik.
Sudrajat (dalam Zubaedi,
2017:375), mengemukakan bahwa ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk
mengoptimalkan pendidikan karakter dalam menumbuhkan nilai-nilai moral di
lingkungan akademik yaitu meliputi; pengajaran (teaching), keteladanan
(modeling), penguatan (reinforcing), dan pembiasaan (habituating). Dalam buku
yang berjudul The Habits of Highly Effective Teens, Stephen R. Covery
mengungkapkan, bahwa ada tujuh kebiasaan yang dapat diterapkan dalam mendidik
karakter anak didik, yaitu bersikap proaktif, memulai dengan tujuan akhir,
mendahulukan yang utama, berpikir menang, berusaha memahami terlebih dahulu
baru dipahami, mewujudkan sinergitas, dan prinsip pembaruan yang seimbang.
Menurut David Brooks dan Mark
Kann (dalam Zubaedi,2017:373) membuat daftar sebelas elemen yang sangat penting
untuk pendidikan karakter yang diterapkan melalui pembiasaan dan komunitas
moral di kelas, yaitu; harus ada instruksi langsung dalam pendidikan watak,
untuk anak-anak harus terbiasa dengan kebajikan, mereka harus mendengar dan
melihat kata-kata, belajar maknanya, mengidentifikasi perilaku yang tepat dan
menerapkannya. Penggunaan bahasa yang baik sangat penting bagi anak-anak,
mereka harus didorong untuk menggunakan bahasa kebajikan dan guru harus
menghindari bahasa negatif seperti “jangan terlambat” atau “jangan lupa” dan
mengganti dengan “tepat waktu” atau “bersiaplah”.
Hasil studi Lewis dan Schaos
(1996) menunjukkan bahwa suasana kelas yang kondusif akan mempunyai dampak yang
positif, karena; harapan dan kemampuan akademik siswa meningkat, motivasi siswa
untuk belajar menjadi lebih besar, siswa lebih menyenangi sekolah, tingkat
absensi siswa lebih rendah, kemampuan sosial siswa menjadi lebih baik, masalah
kenakalan siswa jauh berkurang, dan siswa mempunyai sikap yang lebih terbuka.
Hal ini dapat terwujud apabila seluruh masyarakat sekolah menumbuhkan budaya
bahasa, dan iklim berkelakuan baik.
Pembiasaan Peserta Didik di Kelas
Kegiatan pembiasaan pada dasarnya
merupakan implementasi nyata semua mata pelajaran karena pembiasaan merupakan
terapan atas pemahaman, keterampilan, serta sikap dan nilai yang dibangun pada
semua mata pelajaran. Menurut Abdullah Nasih Ulwan (dalam Zubaedi, 2017:377),
metode pembiasaan adalah cara atau upaya yang praktis dalam pembentukan
(pembinaan) dan persiapan anak. Sedangkan menurut Ramayulis, metode pembiasaan
adalah cara untuk menciptakan suatu kebiasaan atau tingkah laku tertentu bagi
anak didik. Arthur, (2003:38), Pembiasaan adalah pengalaman berulang-ulang
dan/atau tindakan dari jenis yang sama yang menimbulkan kebiasaan pada setiap
orang.
Hasil penelitian Supiana dan
Rahmat Sugiharto (2017), menunjukkan bahwa metode pembiasaan sangat efektif
untuk menguatkan hafalan-hafalan pada anak didik, dan untuk penanaman sikap
beragama dengan cara menghapal doa-doa. Menanamkan kebiasaan yang baik memang
tidak mudah, dan kadang-kadang memakan waktu yang lama. Tetapi sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya. Maka kebiasaan mempunyai
peranan penting dalam kehidupan manusia. Selain itu pembiasaan hendaknya
disertai dengan usaha membangkitkan kesadaran atau pengertian secara
terus-menerus, sebab pembiasaan digunakan bukan untuk memaksa peserta didik
agar melakukan sesuatu secara otomatis, melainkan agar anak dapat melaksanakan
segala kebaikan dengan mudah tanpa merasa berat atau susah hati.
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Supraptiningrum dan Agustini (2015) menjelaskan bahwa,
untuk menanamkan karakter pada siswa dilakukan dengan pembiasaan melalui
berbagai kegiatan, yaitu: (1) kegiatan rutin yang dilakukan siswa secara
terus-menerus dan konsisten setiap saat; (2) kegiatan spontan yang dilakukan
siswa secara spontan pada saat itu juga; (3) keteladanan merupakan perilaku dan
sikap guru dan tenaga kependidikan dan siswa dalam memberikan contoh melalui
tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi siswa
lain; (4) pengondisian dengan cara penciptaan kondisi yang mendukung
keterlaksanaan pendidikan karakter.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nur Hidayat (2016), inti dari pembiasaan dalam pendidikan adalah
pengulangan. Misalnya, pendidik senantiasa mengingatkan peserta didik dalam hal
berpakaian. Penyampaian seperti ini apabila didengar dan dipahami, maka dengan
sendirinya peserta didik dapat membiasakan diri berpakaian sesuai tuntutan
agama. Penerapan pembiasaan pendidikan karakter di kelas di mulai dari hal-hal
yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti.
Kemendiknas (dalam Ernawati,
2017), berpendapat bahwa pengembangan nilai-nilai karakter
didefinisikan dari beberapa sumber, yaitu agama, pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional yang menghasilkan nilai-nilai karakter. Penerapan
pembiasaan dan penciptaan komunitas moral pendidikan karakter di kelas di mulai
dari hal-hal yang sederhana namun secara kontinyu dan berarti, seperti; (1)
Memiliki sifat religius dan jujur, misalnya berdoa sebelum dan sesudah
pelajaran, menyediakan fasilitas tempat temuan dan barang hilang, larangan
menyontek; (2) Sikap toleran, misalnya memberikan pelayanan yang sama terhadap
seluh warga kelas tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial,
dan status ekonomi, serta bekerja dalam kelompok yang berbeda; (3) Disiplin dan
kerja keras, misalnya membiasakan hadir tepat waktu, membiasakan mematuhi
aturan, menciptakan suasana kompetensi yang sehat, menciptakan etos kerja,
pantang menyerah, dan daya tahan belajar, serta memiliki pajangan slogan atau
motto tentang giat belajar dan berkerja; (4) Kreatif dan mandiri, misalnya
menciptakan suasana belajar yang bisa menumbuhkan daya pikir dan bertindak
kreatif, memberikan tugas yang menantang, munculnya karya-karya baru; (5)
Mandiri, misalnya menciptakan suasana kelas yang memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk bekerja mandiri; (6) Demokratis, misalnya mengambil
keputusan kelas secara bersama melalui musyawarah dan musfakat, pemilihan
kepengurusan kelas secara terbuka; (7) Rasa ingin tahu, misalnya menciptakan
suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu, eksplorasi lingkungan secara
terprogram, tersedia media komunikasi atau informasi (media cetak dan media
elektronik); (8) Semangat kebangsaan dan cinta tanah air, misalnya bekerja sama
dengan teman kelas yang berbeda suku, status sosial-ekonomi, mendiskusikan
hari-hari besar nasional, memajang foto presiden dan wakil presiden, bendera,
lambang Negara, peta Indonesia, gambar kehidupan masyarakat Indonesia; (9) Menghargai
prestasi, misalnya memberikan penghargaan atas hasil karya peserta didik,
memajang tanda-tanda penghargaan prestasi; (10) Bersahabat atau komunikatif, misalnya pengaturan
kelas yang memudahkan terjadinya interaksi peserta didik, pembelajaran yang dialogis,
mendengarkan keluhan-keluhan peserta didik; (11) Gemar membaca, misalnya
daftarkan buku atau tulisan yang dibaca peserta didik, frekuensi kunjungan
perpustakaan, saling tukar bacaan, pembelajaran yang memotivasi anak
menggunakan referensi; (12) Peduli lingkungan, misalnya memelihari lingkungan
kelas, tersedia tempat pembuangan sampah didalam kelas, pembiasaan menghemat
energi, memasang stiker perintah, mematikan lampu dan menutup keran air pada
setiap lingkungan kelas maupun sekolah; (13) Peduli sosial, misalnya berempati
kepada sesama teman kelas, melakukan aksi sosial, membangun kerukunan warga
kelas; (14) Tanggung jawab, misalnya pelaksanaan tugas piket secara teratur,
peran serta aktif dalam kegiatan sekolah, dan mengajukan usul pemecahan masalah.
Gerakan penumbuhan budi pekerti
di sekolah dirasakan akan lebih mengena jika dilakukan dengan serangkaian
kegiatan pembiasaan. Pertama, menumbuhkembangkan nilai-nilai moral dan
spiritual lewat pengamalan nilai-nilai moral dalam perilaku nyata sehari-hari.
Nilai moral diajarkan kepada siswa, lalu guru dan siswa mempraktikkan secara
rutin menjadi kebiasaan dan akhirnya bisa membudaya. Kedua, menumbuhkembangkan
nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Ketiga, mengembangkan interaksi positif
antara peserta didik, guru, dan orangtua. Keempat, mengembangkan interaksi
positif antarpeserta didik. Kelima, merawat diri dan lingkungan sekolah.
Keenam, mengembangkan potensi diri peserta didik secara utuh. Ketujuh,
pelibatan orang tua dan masyarkat sekolah.
Menciptakan Komunitas Moral di Kelas
Menurut Haricahyono, (1988:9),
Pendidikan moral adalah suatu kegiatan membantu anak untuk menuju kearah yang
sesuai dengan kesiapan mereka, dan tidak sekedar memaksakan pola-pola eksternal
terhadapnya. Sehingga dibutuhkan suatu pembiasaan kepada anak untuk mengenali nilai-nilai moral yang harus
dipatuhi untuk menjadi bagian dari masyarakat dan diterima oleh masyarakat itu
juga. Silanoi (2012), mengatakan bahwa berbicara, percakapan, dan perdebatan
yang digunakan dalam segala bentuk pendidikan moral, tetapi sering fokus adalah
membenarkan keputusan moral. Mengetahui moral, yang mencakup kesadaran moral,
pengetahuan tentang nilai-nilai moral, tinjauan masa yang akan datang,
penalaran moral, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri, adalah hal penting
yang siswa butuhkan. Menurut Aristoteles lama (dalam Noddings, 2002:40)
berpendapat bahwa hanya siswa yang bisa mengambil keuntungan dari
pengajaran-Nya, penalaran moral dan teori orang-orang yang sudah memiliki suara
karakter dan penghargaan untuk kehidupan moral.
Menurut Cronbach (dalam Rokhman,
Hum, Syaifudin, & Yuliati, 2014), Karakter adalah bukanlah sebuah entitas
yang terpisah antara kebiasaan dan ide-ide. Karakter aspek perilaku,
kepercayaan, perasaan, dan tindakan yang saling terkait satu sama lain sehingga
jika seseorang ingin mengubah karakter tertentu, mereka perlu untuk mengatur
unsur-unsur dasar karakter mereka.
Berbeda dari Cronbach, Lickona
(dalam Rokhman et al., 2014) melihat karakter dalam tiga elemen yang terkait;
pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Berdasarkan ketiga unsur
tersebut seseorang dianggap memiliki karakter yang baik jika mereka tahu
tentang hal-hal yang baik (pengetahuan moral), memiliki minat terhadap hal-hal
baik (perasaan moral) dan melakukan tindakan yang baik (tindakan moral).
Althof & Berkowitz (dalam
MeiJu, Chen-Hsin, & Pin-Chen, 2014) mengusulkan bahwa pendekatan baru
bermaksud untuk memasukkan pikiran dan perasaan anak-anak seperti yang
disarankan dalam tindakan mereka mengungkapkan, belajar, dan menghargai.
Mencius (dalam Nucci et al.,
2014, hal. 34) menganggap bahwa, moralitas sebagai yang menentukan
karakteristik manusia. Menurut Mencius, satu tidak bisa dianggap manusia tanpa
empat kecenderungan. Pertama, adalah
welas asih, yang merupakan asal-usul ren (mencintai orang lain). Kedua, adalah
rasa malu terhadap diri Anda dan menyukai kesalahan orang lain, yang merupakan
asal-usul yi (kebenaran). Ketiga, adalah untuk memberikan orang lain
didahulukan sopan santun dan hormat, yang merupakan asalusul li (kesopanan).
Keempat, adalah rasa benar dan salah, yang merupakan asal-usul zhi
(kebijaksanaan).
Mencius menganjurkan menjadi
bertekad untuk tidak mengubah pikiran karena kepentingan pribadi melainkan
untuk menunjukkan tekad dan keberanian dalam hidup. Akhirnya, orang dapat
menjadi orang terhormat yang tanpa mengorbankan adat-istiadat sendiri untuk
janji-janji kekayaan dan ketenaran, atau diredakan oleh kekuatan dalam situasi
di mana orang diminta untuk melakukan sesuatu tidak bermoral. Singkatnya,
jantung Konfusianisme adalah gagasan ren, atau mencintai orang lain.
Konfusianisme terutama prihatin dengan moralitas dalam hubungan interpersonal
dan perilaku, dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mencakup berbagai macam
hubungan dan perilaku — ren (mencintai orang lain), li (kesopanan), xiao
(kesetiaan), ti (cinta dan hormat antara saudara), zhong (kesetiaan), shu
(toleransi), yi (kebenaran), zhi (kebijaksanaan), dan xin (integritas). Tujuan
dari pendidikan moral dalam Konfusianisme adalah mengolah diri ke seseorang
yang ren-sopan, berani, tanpa pamrih, dan penuh kasih terhadap orang lain.
Goleman (dalam Pane &
Patriana, 2016) menyatakan bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan dengan
langkah penciptaan komunitas moral di kelas, dimana pendidikan karakter adalah
nilainilai pendidikan yang mencakup aspek pengetahuan (kognitif), perasaan, dan
tindakan. Lickona (dalam Pane & Patriana, 2016) menyatakan bahwa dalam
setiap karakter menghasilkan nilai pendidikan, dimana terdiri dari tiga
komponen dari karakter yang baik,: pengetahuan moral, perasaan moral dan
tindakan moral.
Menurut Jhon Dewey (dalam
Zubaedi, 2017:395) pelatihan moral yang paling baik dan mendalam dapat
dilakukan dengan membiasakan anak saling
menjalin hubungan dengan sesama kawannya. Untuk bisa berhasil dalam mengajarkan
sikap hormat dan bertanggung jawab, guru harus menjadikan upaya pembentukan
komunitas moral di kelas sebagai tujuan pendidikan utama. Anak-anak belajar
tentang moralitas dengan cara mempraktikkannya. Mereka harus berada di dalam
sebuah komunitasberinteraksi, menjalin hubungan, menyelesaikan masalah,
berkembang sebagai sebuah kelompok, dan belajar lansung dari pengalaman sosial
yang mereka rasakan sendiri tentang pelajaran, tentang bermain secara adil,
kerja sama, memaafkan, dan menghormati harkat dan martabat setiap individual.
Ada tiga kondisi dasar yang dapat membentuk komunitas moral di kelas, yakni;
Pertama, siswa saling mengenal satu sama lain. Melalui cara ini akan lebih
membiasakan siswa untuk mau menghargai oranglain dan merasakan kedekatan.
Kedua, siswa saling menghormati, mendukung, dan peduli terhadap satu sama lain.
Ketiga, mereka diterima sebagai anggota, dan bertanggung jawab terhadap
kelompok.
Menurut Lickona (dalam Zubaedi,
2017:394), langkah penciptaan komunitas moral di kelas terdiri dari tiga
kegiatan. Pertama. Membantu para siswa untuk saling mengenal satu sama lain
dengan aktivitas; Berpasangan; Direktori kelas; Kantung harta karun; Sahabat
pena dengan kelas lain; Undian tempat duduk; Perasaan nyaman atau tak nyaman;
Jaket pelindung (untuk saling berbagi aspirasi, pencapaian, dan lain-lain).
Kedua, mengajari siswa untuk bersikap saling menghormati, mendukung, dan peduli
dengan sesama melalui kegiatan; Membangun empati; Menghentikan kekejaman
terhadap anak yang berbeda; Menyelenggarakan kegiatan yang bertajuk apresiasi;
Pohon perbuatan baik; Kekuatan kata-kata positif, dan Pelukan menentramkan.
Ketiga, membantu siswa membangun perasaan korp sebagai anggota dan rasa
tanggung jawab kepada kelompok melalui kegiatan; Membangun kohesi dan identitas
kelas melalui macam tradisi dan simbolis; Menumbukan perasaan sebagai sosok
yang unik, anggota yang berharga dari sebuah komunitas
kelas, melakukan upaya intervensi dalam membantu anak yang dikucilkan agar
dapat diterima oleh teman-temannya; Menanamkan rasa tanggung jawab dalam
menjunjung tinggi aturan kelompok; Mendorong tumbuhnya etika saling
ketergantungan, dengan semangat “siapa yang punya masalah yang bisa dibantu
penyelesaiannya oleh kita semua”.
KESIMPULAN
Karakter adalah gabungan dari
kebiasaan-kebiasaan yang terus menerus dilakukan dan mengakar kuat dalam
kepribadian seseorang. Menanamkan nilainilai karakter pada peserta didik
dilakukan dengan pembiasaan-pembiasaan melalui berbagai kegiatan di kelas yang
dilakukan secara terus-menerus dan konsisten setiap saat, sehingga peserta
didik akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dan benar yang tertanam dalam
diri masing-masing peserta didik, tanpa ada reward ataupun hadiah untuk
melakukan hal tersebut. Bentuk pembiasaan yang dilakukan seperti inilah dapat
menumbuhkan nilai-nilai moral pada setiap peserta didik. Hal ini tentu berawal
dari kegiatan-kegiatan yang sederhana yang melibatkan aktivitas keseharian
peserta didik yang dimulai dari lingkungan kelas.
DAFTAR PUSTAKA
Ernawati. 2017. Menumbuhkan Nilai Pendidikan Karakter Anak SD melalui
Dongeng (Fabel) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran Dasar. Vol.4, No. 1
Hidayat Nur. 2016. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui
Pembiasaan di Pondok Pesantren Pabelan. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar, Vol.
2. No. 1
Mei-Ju, C., Chen-Hsin, Y., & Pin-Chen, H. (2014). The Beauty of
Character Education on Preschool Children’s Parent-child Relationship. Procedia
- Social and Behavioral Sciences, 143, 527–533.
Milanovira, “Tujuh Kebiasaan yang Baik Menurut Stephen R. Covey”,
artikel dalam Milamashuri.wrodpress.com Dipublikasikan 20/08/2010,
http://milamashuri.wordpress.com/ 2010/08/20tujuh kebiasaan-
yangbaik-menurut-stepehen-r-covey/
Nucci, L., Narvaez, D., & Krettenauer, T. (2014). Handbook of
Moral and Character Education. Handbook of Moral and Character Education Second
(2nd ed., Vol. 2). New York: Routledge.
Pane, M. M., & Patriana, R. (2016). The Significance of Environmental
Contents in Character Education for Quality of Life. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, 222, 244– 252.
Rokhman, F., Hum, M., Syaifudin, A., & Yuliati. (2014). Character
Education for Golden Generation 2045 (National Character Building for
Indonesian Golden Years). Procedia - Social and Behavioral Sciences, 141,
1161–1165.
Saptono .2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karkter (wawasan,
strategis, dan langkah praktis). Erlangga.
Silanoi, L. (2012). The Development of Teaching Pattern for Promoting
the Building up of Character Education Based on Sufficiency Economy Philosophy
in Thailand. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69 (Iceepsy),
1812–1816.
Supiana, Sugiharto Rahmat. 2017. Pembentukan Nilai-nilai Karakter
Islami Siswa Melalui Metode Pembiasaan. Jurnal Education Vol.01, No.01
Noddings, N. (2002). Educating Moral People; A Caring Alternative to
Character Education. New York: Teachers College Press.
Supraptiningrat, Agustini. Membangun Karakter Siswa Melalui Budaya
Sekolah di Sekolah Dasar. 2015. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V, No. 2
Zubaedi. 2017. Strategi Taktis Pendidikan Karakter (untuk PAUD dan
Sekolah). Depok: PT Raja Grafindo Persada